Merespons Perubahan dan Merefleksikan Kembali Kelahiran NU
103
NU dan Piagam Jakarta
Berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani oleh
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) pada 22 Juni 1945, sila pertama
Pancasila yang juga termaktub dalam pembukaan UUD
1945 pada awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban
Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Kesepakatan ini dikenal sebagai Piagam Jakarta yang
memuat “tujuh kata” setelah kata “ketuhanan”. Versi
inilah yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Namun,
keesokan harinya terjadi negosiasi yang alot menanggapi
aspirasi yang menginginkan “tujuh
kata”
tersebut
dihapus karena dipandang sangat sensitif dan berpotensi
mendiskriminasi mereka yang berlatar belakang non-
Muslim. Setelah proses negosiasi tersebut akhirnya pada 18
Agustus 1945 disepakati penghapusan tujuh kata tersebut
dan sila pertama berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Penerimaan terhadap usulan tersebut tak lepas dari
peran penting KH. Wahid Hasyim sebagai representasi
NU. Ia sebagai salah satu tokoh agama dalam BPUPKI yang
menerima usulan Mohammad Hatta yang mengutarakan
perlu adanya perubahan tersebut karena rakyat Indonesia
bagian Timur akan mengancam memisahkan diri dari
Indonesia jika tujuh kata tersebut tetap dipertahankan.
KH. Wahid Hasyim mendatangi Ki Bagus Hadikusumo
yang sedari awal sangat kekeh mempertahankan tujuh kata
tersebut untuk menyetujui perubahan tersebut. Namun,
Ki Bagus tetap bergeming sampai dibujuk oleh Kasman
Singodimedjo yang menyampaikan bahwa perubahan
tersebut hanya bersifat sementara dan nanti akan
dikembalikan. Kasman kemudian berupaya memenuhi